Selasa, 13 Mei 2014

17.28 - No comments

Bank Syariah


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Bank adalah lembaga perantara keuangan atau biasa disebut financial
intermediary. Artinya, lembaga bank adalah lembaga yang dalam aktivitasnya berkaitan dengan masalah uang.
Oleh karena itu, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan alat pelancar terjadinya perdagangan yang utama. Kegiatan dan
usaha bank akan selalu terkait dengan komoditas, antara lain :

1.      Memindahkan uang
2.      Menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran
3.      Mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainnya
4.      Membeli dan menjual surat-surat berharga
5.      Membeli dan menjual cek, surat wesel, kertas dagang
6.      Memberi jaminan bank.
Untuk menghindari pengoperasian bank dengan sistem bunga, Islam memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah Islam. Bank syari’ah lahir sebagai salah satu solusi alternatif terhadap persoalan pertentangan antara bunga bank dengan riba.
Dengan demikian, kerinduan umat Islam Indonesia yang ingin melepaskan diri dari persoalan riba telah mendapat jawaban dengan lahirnya bank Islam. Bank Islam lahir di Indonesia sekitar tahun 90-an atau tepatnya setelah ada Undang-undang No. 7 tahun 1992, yang direvisi dengan Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998, dalam bentuk sebuah bank yang beroperasinya dengan sistem bagi hasil atau bank syariah.

Kaitan antara bank dengan uang dalam suatu unit bisnis adalah penting, namun di
dalam pelaksanaannya harus menghilangkan adanya ketidakadilan, ketidakjujuran dan penghisapan dari satu pihak ke pihak lain (baik dengan nasabahnya). Kedudukan bank Islam dalam hubungan dengan para kliennya adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedang dalam hal bank pada umumnya, hubungannya adalah sebagai kreditur atau debitur.

Sehubungan dengan jalinan investor dan pedagang tersebut, maka dalam
menjalankan pekerjaannya, bank Islam menggunakan berbagai teknik dan metode investasi seperti kontrak mudharabah. Di samping itu, bank Islam juga terlibat dalam kontrak murabahah. Mekanisme perbankan Islam yang berdasarkan prinsip mitra usaha, adalah bebas bunga. Oleh karena itu, soal membayarkan bunga kepada para depositor atau pembebanan suatu bunga dari para klien tidak timbul.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka akan dijelaskan lebih lanjut mengenai :
(1) pengertian bank syari’ah
(2) peranan bank syari’ah
(3) perkembangan bank syari’ah di Indonesia.

B.      Rumusan Masalah
1.      Apa itu Bank Syariah ?
2.      Apa manfaat Bank Syariah ?
3.      Apa kelemahan Bank Syariah ?
4.      Apa saja peranan Bank syariah ?
5.      Bagaimana pengembangan Bank Syariah di Indonesia

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa itu Bank Syariah
2.      Untuk mengetahui manfaat bank Syariah
3.      Untuk mengetahui kelemahan Bank Syariah
4.      Untuk mengetahui apa saja peranan Bank syariah
5.      Untuk mengetahui pengembangan Bank Syariah di Indonesia










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bank Syariah
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan bank syari’ah., adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga, adalah lembaga perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.

Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan bank yang beroperasi dengan prinsip syari’ah Islam. Bank Islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam,bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Sementara bank yang beroperasi sesuai prinsip syari’ah Islam adalah bank yang mengikuti ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.  Lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktekpraktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatankegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.

Bank syari’ah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang menggembirakan bahwa belakangan ini para ekonom muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih sesuai dengan etika Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya untuk membangun model teori ekonomi yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan distribusi pendapatan.

B.     Manfaat Bank Syariah
a.      Mendorong stabilitas system keuangan
b.      Penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi
c.       Pengetasan kemiskinan
d.      Mendorong stabilitas social dan kelestarian alam dan lingkungan
e.      Mencegah kerugian moneter dan fiscal bagi ekonomi
f.        Menumbuh kembangkan usaha – usaha baru (sebagai sumber pajak baru)
g.      Menekan pengeluaran subsidi rakyat miskin dan mendorong kapasitas pembiayaan pembangunan
h.      Menekan biaya asocial baik ditingkat masyarakat dan lingkungan alam

C.     Kelemahan Bank Syariah
1)      Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis (Dalam bisnis, hasil dari setiap perusahaan selalu tidak pasti. Peminjam sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui walaupun perusahaannya mungkin rugi Meskipun perusahaan untung, bisa jadi bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya. Hali ini jelas bertentangan dengan norma keadilan dalam Islam)
2)      Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan   kebangkrutan (Hal ini menyebabkan hilangnya potensi produktif masyarakat secara keseluruhan, selain dengan pengangguran sebagian besar orang. Lebih dari itu, beban utang makin menyulitkan upaya pemulihan ekonomi dan memperparah penderitaan seluruh masyarakat)
3)      Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut  bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya  (Demi keamanan, mereka hanya mau menjaminkan dana bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan atau kepada orang yang sanggup menjamin keamanan pinjamannya. Sisa uangnya disimpan dalam bentuk surat berharga pemerintah. Semakin banyak pinjaman yang hanya diberikan kepada usaha yang sudah mapan dan sukses, sementara orang yang punya potensi tertahan untuk memulai usahanya. Ini menyebabkan tidak seimbangnya pendapatan dan kesejahteraan, juga bertentangan dengan semangat Islam)
4)      Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil  (Usaha besar dapat mengambil risiko untuk mencoba teknik dan produk baru karena punya cadangan dana sebagai sandaran bila ternyata ide barunya itu tidak berhasil.Sebaliknya, usaha kecil tidak dapat mencoba ide baru karena untuk mereka harus pinjaman dana berbunga dari bank. Bila gagal, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali harus membayar kembali pinjaman berikut bunganya dan bangkrut. Hal ini terjadi juga pada para petani. Jadi bunga merupakan rintangan bagi pertumbuhan dan juga memperburuk keseimbangan pendapatan).
5)       Dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan pendaptan bunga mereka  Setiap rencana bisnis yang diajukan kepada mereka selalu diukur dengan kriteria ini. Jadi, bank yang bekerja dengan sistem ini tidak mempunyai insentif untuk membantu suatu usaha yang berguna bagi masyarakat dan para pekerja. Sistem ini menyebabkan misallocation sumber daya dalam masyarakat Islam.









D.    Peranan Bank Syariah

Sistem Lembaga Keuangan atau yang lebih khusus lagi disebut sebagai aturan yang menyangkut aspek keuangan dalam sistem mekanisme keuangan suatu negara, telah menjadi instrumen penting dalam memperlancar jalannya pembangunan suatu bangsa.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentu saja menuntut adanya sistem baku yang mengatur dalam kegiatan kehidupannya. Termasuk di antaranya kegiatan keuangan yang dijalankan oleh setiap umat.
Hal ini berarti bahwa sistem baku termasuk dalam bidang ekonomi. Namun, di dalam perjalanan hdup umat manusia, kini telah terbelenggu dalam system perekonomian yang bersifat sekuler.

Khusus di bidang perbankan, berdirinya De Javasche Bank pada tahun 1872, telah menanamkan nilai-nilai sistem perbankan yang sampai sekarang telah mentradisi dan bahkan sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia, tanpa kecuali umat Islam. Dalam sistem keuangan,berkembang pemikiran-pemikiran yang mengarah pada reorientasi sistem keuangan, yaitu dengan menghapuskan instrumen utamanya : bunga.
Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan mencapai kesesuaian dalam melaksanakan prinsip-prinsip ajaran Islam yang mengandung dasar-dasar keadilan, kejujuran dan kebajikan.

Keberadaan perbankan Islam di tanah air telah mendapatkan pijakan kokoh setelah lahirnya Undang-undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 yang direvisi melalui Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, yang dengan tegas mengakui keberadaan dan berfungsinya Bank Bagi Hasil atau Bank Islam. Dengan demikian, bank ini adalah yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bagi hasil adalah prinsip muamalah berdasarkan syari’ah dalam melakukan kegiatan usaha bank.


Berbicara tentang peranan sesuatu, tidak dapat dipisahkan dengan fungsi dan kedudukan sesuatu itu. Diantara peranan bank Islam adalah :
(1) Memurnikan operasional perbankan syari’ah sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat
(2) Meningkatkan kesadaran syari’ah umat Islam sehingga dapat memperluas segmen dan pangsa pasar perbankan syari’ah
(3) Menjalin kerja sama dengan para ulama karena bagaimanapun peran ulama, khususnya di Indonesia, sangat dominan bagi kehidupan umat Islam.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga keuangan bank maupun
non-bank yang bersifat formal dan beroperasi di pedesaan, umumnya tidak dapat
menjangkau lapisan masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah.
Ketidakmampuan tersebut terutama dalam sisi penanggungan risiko dan biaya operasi, juga dalam identifikasi usaha dan pemantauan penggunaan kredit yang layak usaha. Ketidakmampuan lembaga keuangan ini menjadi penyebab terjadinya kekosongan pada segmen pasar keuangan di wilayah pedesaan. Akibatnya 70 % sampai dengan 90 % kekosongan ini diisi oleh lembaga keuangan non-formal, termasuk yang ikut beroperasi adalah para rentenir dengan mengenakan suku bunga yang tinggi. Untuk menanggulangi kejadian-kejadian seperti ini perlu adanya suatu lembaga yang mampu menjadi jalan tengah.

Adanya bank Islam diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank Islam. Melalui pembiayaan ini bank Islam dapat menjadi mitra dengan nasabah, sehingga hubungan bank Islam dengan nasabah tidak dapat lagi sebagai kreditur dan debitur tetapi menjadi menjadi hubungan kemitraan.

Secara khusus peranan bank syari’ah secara nyata dapat terwujud dalam aspek-aspek berikut :
1.      Menjadi perekat nasionalisme baru, artinya bank syari’ah dapat menjadi fasilitator aktif bagi terbentuknya jaringan usaha ekonomi kerakyatan. Di samping itu, bank syari’ah perlu mencontoh keberhasilan Sarekat Dagang Islam, kemudian ditarik keberhasilannya untuk masa kini (nasionalis,demokratis, religius, ekonomis).
2.      Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya,
pengelolaan bank syari’ah harus didasarkan pada visi ekonomi kerakyatan, dan upaya ini terwujud jika ada mekanisme operasi yang transparan.
3.      Memberikan return yang lebih baik. Artinya investasi di bank syari’ah tidak memberikan janji yang pasti mengenai return (keuntungan) yang dibeikan kepada investor. Oleh karena itu, bank syari’ah harus mampu memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional. Di samping itu, nasabah pembiayaan akan memberikan bagi hasil sesuai dengan keuntungan yang diperolehnya. Oleh karena itu, pengusaha harus bersedia memberikan keuntungan yang tinggi kepada bank syari’ah.
4.      Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank syari’ah mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan demikian spekulasi dapat ditekan.
5.      Mendorong pemerataan pendapatan. Artinya, bank syari’ah bukan hanya mengumpulkan dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS). Dana ZIS dapat disalurkan melalui pembiayaan Qardul Hasan, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya terjadi pemerataan ekonomi.
6.      Peningkatan efisiensi mobilisasi dana. Artinya, adanya produk almudharabah al-muqayyadah, berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan investasi atas dana yang diserahkan oleh investor, maka bank syari’ah sebagai financial arranger, bank memperoleh komisi atau bagi hasil, bukan karena spread bunga.










E.     Pengembangan Bank Syariah di Indonesia

Membahas persoalan bank syari’ah, pada dasarnya bersumber pada konsep uang dalam Islam. Sebab bisnis perbankan tidak dapat lepas dari persoalan uang. Di dalam Islam, uang dipandang sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan penghisapan dalam ekonomi tukar-menukar. Sebagai alat tukar-menukar, peranan uang sangat dibenarkan, namun apabila dikaitkan dengan persoalan ketidakadilan, di dalam ekonomi tukar menukar yang digolongkan sebagai riba al-fadl. Oleh karena itu dalam Islam, uang sendiri tidak menghasilkan suatu apapun.
Dengan demikian, bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang (apabila memberatkan atau eksploitasi).  Timbul pertanyaan mendasar, mengapa bank syari’ah timbul dan beroperasi ?
Ada situasi dan keadaan yang menuntut lahir dan beroperasionalnya bank syari’ah. Masalah pokoknya adalah berkenaan dengan perangkat bunga yang telah dikembangkan oleh bank konvensional. Sebab, apabila ditelusuri lebih jauh, bahwa persoalan bunga bank di Indonesia sendiri sudah lama menjadi ganjalan bagi umat Islam yang harus segera ditemukan pemecahannya. Reaksi keras pertama kali dalam rangka meng-counter terhadap persoalan bunga bank adalah terdapat dalam tulisan KH. Mas Mansur di majalah Tabliq Siaran pada tahun 1937, bahwa bunga bank menjadi permasalahan yang sangat serius bagi umat Islam.

Namun karena pada saat itu belum ada deregulasi moneter dan perbankan, maka reaksi tersebut belum menemukan jawaban. Baru setelah adanya deregulasi moneter dan perbankan pada tahun 1983, sedikit mendapatkan jawaban terhadap permasalahan bunga bank tersebut. Kemudian dikuatkan lagi dengan keluarnya Pakto 1988, bahwa bank dapat memberikan pembiayaan dengan bunga nol persen.

Menurut Mudrajad dan Suharjono (2002) mengatakan bahwa deregulasi financial yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini agaknya sejalan dengan deregulasi finansial yang juga terjadi di negara-negara Asia. Persamaannya terlihat pada tiga dimensi deregulasi yang terpisah, namun berkaitan erat, yaitu deregulasi harga (terutama deregulasi suku bunga), deregulasi produk (ragam jasa yang ditawarkan) dan deregulasi spasial (kelonggaran pembukaan cabang atau hambatan memasuki pasar).

Lebih lanjut dikatakan, bahwa tinjauan deregulasi selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa deregulasi telah sedikit banyak mengubah wajah sektor keuangan Indonesia. Tidak berlebihan bila dikatakan, saat ini Indonesia telah keluar dari represi finansial, setidaknya kadarnya telah jauh berkurang dibanding masa sebelumnya.
Deregulasi finansial sebagai gantinya, mengakibatkan fenomena baru yang mengakibatkan iklim persaingan semakin hangat. Termasuk di dalamnya adalah persaingan dalam perbankan syari’ah di Indonesia. Diakui atau tidak, bahwa deregulasi finansial di Indonesia telah memberikan iklim bagi tumbuh dan berkembangnya bank syari’ah di Indonesia. Pada tahun 1991 telah berdiri dua bank syari’ah, yaitu : BPR Syari’ah Dana Mardhotillah dan BPR Syari’ah Berkah Amal Sejahtera, keduanya berada di Bandung.

Pada tahun 1992, diundangkannya UU Perbankan Nomor 7 tahun 1992, yang isinya tentang bank bagi hasil. Saat itu pula berdiri Bank Muamalat Indonesia. Kemudian diikuti oleh BPR Syari’ah Bangun Drajad Warga dan BPR Syari’ah Marga Rizki Bahagia, keduanya berada di Indonesia. Reaksi berikutnya juga muncul, untuk melakukan revisi UU No. 7 tahun 1992 menjadi UU No. 10 tahun 1998. Dengan demikian , diterbitkannya UU No. 10 tahun 1998 memiliki kegiatan usaha perbankan berdasarkan pada prinsip syari’ah. Setelah UU No. 10 tahun 1998 di Indonesia telah berdiri : satu Bank Umum Syari’ah (Bank Muamalat Indonesia) ditambah dengan 80 BPR Syari’ah.

Kalau dilihat secara makro ekonomi, pengembangan bank syari’ah di Indonesia memiliki peluang besar karena peluang pasarnya yang luas sejurus dengan mayoritas penduduk Indonesia. UU No. 10 tidak menutup kemungkinan bagi pemilik bank negara, swasta nasional bahkan pihak pihak asing sekalipun untuk membuka cabang syari’ah di Indonesia. Dengan terbukanya kesempatan ini jelas akan memperbesar peluang transaksi keuangan di dunia perbankan kita, terutama bila terjalin hubungan kerjasama di antara bank-bank syari’ah.

Hal ini guna menampung aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip Bank Syari’ah ini termasuk juga kesempatan konversi dari bank umum yang kegiatan usahanya berdasarkan pada pola konvensional menjadi pola syari’ah.

Selain itu dibolehkan pula bagi pengelola bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang atau mengganti kantor cabang yang sudah ada menjadi kantor cabang khusus syari’ah dengan persyaratan yang melarang percampuran modal dan akuntansinya.

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Setelah kita pelajari lebih mendalam dari pengertian, peranan dan perkembangan bank syari’ah di Indonesia dapat disimpulkan bahwa masa depan perbankan syari’ah di Indonesia sangat cerah. Hal ini terlihat dari semakin bertambahnya jumlah (unit) perbankan syari’ah dari tahun ke tahun. Perbankan syari’ah dapat dikembangkan sebagai salah salah satu sistem perbankan alternatif selain sistem perbankan yang umum (konvensional).

Jika dibandingkan dengan jumlah nasabah dan simpanan dari perbankan yang umum (konvensional) cenderung tidak meningkat (stagnan), maka masih sangat terbuka kemungkinan perbankan syari’ah untuk mendapatkan kenaikan jumlah nasabah maupun simpanan mereka. Aturan yang berlaku dalam perbankan syari’ah adalah adanya sistem bagi hasil yang tidak seberat jika kita mengikuti aturan dalam perbankan umum (konvensional) yang sering memberatkan kalangan pengusaha. Perbankan syari’ah menawarkan berbagai produk baik tabungan maupun yang lainnya. Sehingga harapan dari kalangan usaha kecil dan menengah untuk memperoleh modal untuk memajukan usaha mereka bisa terlaksana dengan baik. Perbankan syari’ah tidak memberikan pinjaman untuk kegiatan haram dan spekulasi.


























REFERENSI

Ali Mursid, 2004. “Aplikasi Kontrak dan Produk Bank Syari’ah”, Kertas Kerja Shariate
Banking Workshop, pada tanggal 11 April 2004.
Karnaen Perwataatmaja dan M. Syafe’I Antonio, 1997, Apa dan Bagaimana Bank Islam,
Yogyakarta : PT Dana Bakhti Wakaf.
Karnaen Perwataatmaja, 1997. “Istiqomah dalam menjalankan Operasional Bank
Syari’ah”, Kertas Kerja Seminar Bank Syari’ah, pada tanggal 24 September
1997.
M. Syafe’I Antonio, 2000, Bank Islam : Teori dan Praktek, Jakarta : Gema Insani Press.
Mudrajad Kuncoro dan Suharjono, 2002, Manajemen Perbankan : Teori dan Aplikasi,
Edisi Pertama, Yogyakarta : BPFE
Muhamad, 2000, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta : UII Press.
Muhamad, 2000, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari’ah, Yogyakarta : UII
Press.
Muhamad, 2002, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Muhamad, 2004. “Prinsip Operasional Bank Syari’ah”, Kertas Kerja Shariate Banking
Workshop, pada tanggal 11 April 2004.









0 komentar:

Posting Komentar