17.28 -
No comments
Bank Syariah
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bank
adalah lembaga perantara keuangan atau biasa disebut financial
intermediary. Artinya, lembaga bank
adalah lembaga yang dalam aktivitasnya berkaitan dengan masalah uang.
Oleh karena itu, usaha
bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan alat pelancar
terjadinya perdagangan yang utama. Kegiatan dan
usaha bank akan selalu
terkait dengan komoditas, antara lain :
1.
Memindahkan uang
2.
Menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran
3.
Mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat berharga lainnya
4.
Membeli dan menjual surat-surat berharga
5.
Membeli dan menjual cek, surat wesel, kertas
dagang
6.
Memberi jaminan bank.
Untuk menghindari
pengoperasian bank dengan sistem bunga, Islam memperkenalkan prinsip-prinsip
muamalah Islam. Bank syari’ah lahir sebagai salah satu solusi alternatif
terhadap persoalan pertentangan antara bunga bank dengan riba.
Dengan demikian,
kerinduan umat Islam Indonesia yang ingin melepaskan diri dari persoalan riba
telah mendapat jawaban dengan lahirnya bank Islam. Bank Islam lahir di
Indonesia sekitar tahun 90-an atau tepatnya setelah ada Undang-undang No. 7
tahun 1992, yang direvisi dengan Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998,
dalam bentuk sebuah bank yang beroperasinya dengan sistem bagi hasil atau bank
syariah.
Kaitan antara bank dengan
uang dalam suatu unit bisnis adalah penting, namun di
dalam pelaksanaannya
harus menghilangkan adanya ketidakadilan, ketidakjujuran dan penghisapan dari
satu pihak ke pihak lain (baik dengan nasabahnya). Kedudukan bank Islam dalam
hubungan dengan para kliennya adalah sebagai mitra investor dan pedagang,
sedang dalam hal bank pada umumnya, hubungannya adalah sebagai kreditur atau
debitur.
Sehubungan dengan jalinan
investor dan pedagang tersebut, maka dalam
menjalankan pekerjaannya,
bank Islam menggunakan berbagai teknik dan metode investasi seperti kontrak mudharabah.
Di samping itu, bank Islam juga terlibat dalam kontrak murabahah.
Mekanisme perbankan Islam yang berdasarkan prinsip mitra usaha, adalah bebas
bunga. Oleh karena itu, soal membayarkan bunga kepada para depositor atau
pembebanan suatu bunga dari para klien tidak timbul.
Sehubungan dengan hal
tersebut, maka akan dijelaskan lebih lanjut mengenai :
(1) pengertian bank
syari’ah
(2) peranan bank syari’ah
(3) perkembangan bank syari’ah
di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu
Bank Syariah ?
2. Apa
manfaat Bank Syariah ?
3. Apa
kelemahan Bank Syariah ?
4. Apa saja
peranan Bank syariah ?
5. Bagaimana
pengembangan Bank Syariah di Indonesia
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa itu Bank Syariah
2. Untuk
mengetahui manfaat bank Syariah
3. Untuk
mengetahui kelemahan Bank Syariah
4. Untuk
mengetahui apa saja peranan Bank syariah
5. Untuk
mengetahui pengembangan Bank Syariah di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bank Syariah
Bank
Islam atau selanjutnya disebut dengan bank syari’ah., adalah bank yang
beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut
dengan bank tanpa bunga, adalah lembaga perbankan yang operasional dan
produknya dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Dengan kata lain, Bank
Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan
jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.
Antonio dan
Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan bank
yang beroperasi dengan prinsip syari’ah Islam. Bank Islam adalah bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam,bank yang tata cara
beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Sementara
bank yang beroperasi sesuai prinsip syari’ah Islam adalah bank yang mengikuti
ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara
bermuamalat secara Islam. Lebih lanjut,
dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktekpraktek yang dikhawatirkan
mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatankegiatan investasi atas
dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.
Bank syari’ah adalah bank
yang aktivitasnya meninggalkan masalah masalah riba. Dengan demikian,
penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang
dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang menggembirakan bahwa belakangan
ini para ekonom muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna menemukan cara
untuk menggantikan sistem bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang
lebih sesuai dengan etika Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya untuk
membangun model teori ekonomi yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap
pertumbuhan ekonomi, alokasi dan distribusi pendapatan.
B. Manfaat Bank Syariah
a.
Mendorong stabilitas system keuangan
b.
Penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi
c.
Pengetasan kemiskinan
d.
Mendorong stabilitas social dan kelestarian alam dan lingkungan
e.
Mencegah kerugian moneter dan fiscal bagi ekonomi
f.
Menumbuh kembangkan usaha – usaha baru (sebagai sumber pajak baru)
g.
Menekan pengeluaran subsidi rakyat miskin dan mendorong kapasitas
pembiayaan pembangunan
h.
Menekan biaya asocial baik ditingkat masyarakat dan lingkungan alam
C. Kelemahan Bank Syariah
1)
Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis (Dalam
bisnis, hasil dari setiap perusahaan selalu tidak pasti. Peminjam sudah
berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui walaupun perusahaannya
mungkin rugi Meskipun perusahaan untung, bisa jadi bunga yang harus dibayarkan
melebihi keuntungannya. Hali ini jelas bertentangan dengan norma keadilan dalam
Islam)
2)
Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan kebangkrutan (Hal ini menyebabkan hilangnya
potensi produktif masyarakat secara keseluruhan, selain dengan pengangguran
sebagian besar orang. Lebih dari itu, beban utang makin menyulitkan upaya
pemulihan ekonomi dan memperparah penderitaan seluruh masyarakat)
3)
Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut bunganya membuat bank cemas untuk
mengembalikan pokok dan bunganya (Demi
keamanan, mereka hanya mau menjaminkan dana bagi bisnis yang sudah benar-benar
mapan atau kepada orang yang sanggup menjamin keamanan pinjamannya. Sisa
uangnya disimpan dalam bentuk surat berharga pemerintah. Semakin banyak
pinjaman yang hanya diberikan kepada usaha yang sudah mapan dan sukses, sementara
orang yang punya potensi tertahan untuk memulai usahanya. Ini menyebabkan tidak
seimbangnya pendapatan dan kesejahteraan, juga bertentangan dengan semangat
Islam)
4)
Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh
usaha kecil (Usaha besar dapat mengambil
risiko untuk mencoba teknik dan produk baru karena punya cadangan dana sebagai
sandaran bila ternyata ide barunya itu tidak berhasil.Sebaliknya, usaha kecil
tidak dapat mencoba ide baru karena untuk mereka harus pinjaman dana berbunga dari
bank. Bila gagal, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali harus membayar
kembali pinjaman berikut bunganya dan bangkrut. Hal ini terjadi juga pada para
petani. Jadi bunga merupakan rintangan bagi pertumbuhan dan juga memperburuk
keseimbangan pendapatan).
5)
Dalam sistem bunga, bank tidak
akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada jaminan kepastian
pengembalian modal dan pendaptan bunga mereka Setiap rencana bisnis yang
diajukan kepada mereka selalu diukur dengan kriteria ini. Jadi, bank yang
bekerja dengan sistem ini tidak mempunyai insentif untuk membantu suatu usaha
yang berguna bagi masyarakat dan para pekerja. Sistem ini menyebabkan misallocation
sumber daya dalam masyarakat Islam.
D. Peranan Bank Syariah
Sistem
Lembaga Keuangan atau yang lebih khusus lagi disebut sebagai aturan yang
menyangkut aspek keuangan dalam sistem mekanisme keuangan suatu negara, telah
menjadi instrumen penting dalam memperlancar jalannya pembangunan suatu bangsa.
Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam tentu saja menuntut adanya sistem baku yang mengatur
dalam kegiatan kehidupannya. Termasuk di antaranya kegiatan keuangan yang
dijalankan oleh setiap umat.
Hal ini berarti bahwa
sistem baku termasuk dalam bidang ekonomi. Namun, di dalam perjalanan hdup umat
manusia, kini telah terbelenggu dalam system perekonomian yang bersifat
sekuler.
Khusus di bidang
perbankan, berdirinya De Javasche Bank pada tahun 1872, telah menanamkan
nilai-nilai sistem perbankan yang sampai sekarang telah mentradisi dan bahkan
sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia, tanpa kecuali umat
Islam. Dalam sistem keuangan,berkembang pemikiran-pemikiran yang mengarah pada
reorientasi sistem keuangan, yaitu dengan menghapuskan instrumen utamanya :
bunga.
Usaha tersebut dilakukan
dengan tujuan mencapai kesesuaian dalam melaksanakan prinsip-prinsip ajaran
Islam yang mengandung dasar-dasar keadilan, kejujuran dan kebajikan.
Keberadaan perbankan
Islam di tanah air telah mendapatkan pijakan kokoh setelah lahirnya
Undang-undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 yang direvisi melalui Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998, yang dengan tegas mengakui keberadaan dan berfungsinya
Bank Bagi Hasil atau Bank Islam. Dengan demikian, bank ini adalah yang
beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bagi hasil adalah prinsip muamalah
berdasarkan syari’ah dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Berbicara tentang peranan
sesuatu, tidak dapat dipisahkan dengan fungsi dan kedudukan sesuatu itu.
Diantara peranan bank Islam adalah :
(1) Memurnikan
operasional perbankan syari’ah sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan
masyarakat
(2) Meningkatkan
kesadaran syari’ah umat Islam sehingga dapat memperluas segmen dan pangsa pasar
perbankan syari’ah
(3) Menjalin kerja sama
dengan para ulama karena bagaimanapun peran ulama, khususnya di Indonesia,
sangat dominan bagi kehidupan umat Islam.
Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa lembaga keuangan bank maupun
non-bank yang bersifat
formal dan beroperasi di pedesaan, umumnya tidak dapat
menjangkau lapisan
masyarakat dari golongan ekonomi menengah ke bawah.
Ketidakmampuan tersebut
terutama dalam sisi penanggungan risiko dan biaya operasi, juga dalam
identifikasi usaha dan pemantauan penggunaan kredit yang layak usaha.
Ketidakmampuan lembaga keuangan ini menjadi penyebab terjadinya kekosongan pada
segmen pasar keuangan di wilayah pedesaan. Akibatnya 70 % sampai dengan 90 %
kekosongan ini diisi oleh lembaga keuangan non-formal, termasuk yang ikut
beroperasi adalah para rentenir dengan mengenakan suku bunga yang tinggi. Untuk
menanggulangi kejadian-kejadian seperti ini perlu adanya suatu lembaga yang
mampu menjadi jalan tengah.
Adanya bank Islam
diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat
melalui pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank Islam. Melalui
pembiayaan ini bank Islam dapat menjadi mitra dengan nasabah, sehingga hubungan
bank Islam dengan nasabah tidak dapat lagi sebagai kreditur dan debitur tetapi
menjadi menjadi hubungan kemitraan.
Secara khusus peranan
bank syari’ah secara nyata dapat terwujud dalam aspek-aspek berikut :
1.
Menjadi perekat nasionalisme baru, artinya bank syari’ah dapat menjadi
fasilitator aktif bagi terbentuknya jaringan usaha ekonomi kerakyatan. Di samping
itu, bank syari’ah perlu mencontoh keberhasilan Sarekat Dagang Islam, kemudian
ditarik keberhasilannya untuk masa kini (nasionalis,demokratis, religius, ekonomis).
2.
Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya,
pengelolaan bank syari’ah harus didasarkan pada
visi ekonomi kerakyatan, dan upaya ini terwujud jika ada mekanisme operasi yang
transparan.
3.
Memberikan return yang lebih baik. Artinya investasi di bank
syari’ah tidak memberikan janji yang pasti mengenai return (keuntungan)
yang dibeikan kepada investor. Oleh karena itu, bank syari’ah harus mampu
memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional. Di
samping itu, nasabah pembiayaan akan memberikan bagi hasil sesuai dengan
keuntungan yang diperolehnya. Oleh karena itu, pengusaha harus bersedia
memberikan keuntungan yang tinggi kepada bank syari’ah.
4.
Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank
syari’ah mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan
demikian spekulasi dapat ditekan.
5.
Mendorong pemerataan pendapatan. Artinya, bank syari’ah bukan hanya
mengumpulkan dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana Zakat, Infaq dan
Shadaqah (ZIS). Dana ZIS dapat disalurkan melalui pembiayaan Qardul Hasan,
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya terjadi pemerataan
ekonomi.
6.
Peningkatan efisiensi mobilisasi dana. Artinya, adanya produk almudharabah
al-muqayyadah, berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan
investasi atas dana yang diserahkan oleh investor, maka bank syari’ah
sebagai financial arranger, bank memperoleh komisi atau bagi hasil,
bukan karena spread bunga.
E.
Pengembangan Bank Syariah di Indonesia
Membahas persoalan bank
syari’ah, pada dasarnya bersumber pada konsep uang dalam Islam. Sebab bisnis
perbankan tidak dapat lepas dari persoalan uang. Di dalam Islam, uang dipandang
sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara
meluas dengan maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan penghisapan
dalam ekonomi tukar-menukar. Sebagai alat tukar-menukar, peranan uang sangat
dibenarkan, namun apabila dikaitkan dengan persoalan ketidakadilan, di dalam
ekonomi tukar menukar yang digolongkan sebagai riba al-fadl. Oleh karena
itu dalam Islam, uang sendiri tidak menghasilkan suatu apapun.
Dengan demikian, bunga
(riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang (apabila memberatkan
atau eksploitasi). Timbul pertanyaan
mendasar, mengapa bank syari’ah timbul dan beroperasi ?
Ada situasi dan keadaan
yang menuntut lahir dan beroperasionalnya bank syari’ah. Masalah pokoknya
adalah berkenaan dengan perangkat bunga yang telah dikembangkan oleh bank
konvensional. Sebab, apabila ditelusuri lebih jauh, bahwa persoalan bunga bank
di Indonesia sendiri sudah lama menjadi ganjalan bagi umat Islam yang harus
segera ditemukan pemecahannya. Reaksi keras pertama kali dalam rangka meng-counter
terhadap persoalan bunga bank adalah terdapat dalam tulisan KH. Mas Mansur
di majalah Tabliq Siaran pada tahun 1937, bahwa bunga bank menjadi
permasalahan yang sangat serius bagi umat Islam.
Namun karena pada saat
itu belum ada deregulasi moneter dan perbankan, maka reaksi tersebut belum
menemukan jawaban. Baru setelah adanya deregulasi moneter dan perbankan pada
tahun 1983, sedikit mendapatkan jawaban terhadap permasalahan bunga bank
tersebut. Kemudian dikuatkan lagi dengan keluarnya Pakto 1988, bahwa bank dapat
memberikan pembiayaan dengan bunga nol persen.
Menurut Mudrajad dan
Suharjono (2002) mengatakan bahwa deregulasi financial yang sedang berlangsung
di Indonesia saat ini agaknya sejalan dengan deregulasi finansial yang juga
terjadi di negara-negara Asia. Persamaannya terlihat pada tiga dimensi
deregulasi yang terpisah, namun berkaitan erat, yaitu deregulasi harga (terutama
deregulasi suku bunga), deregulasi produk (ragam jasa yang ditawarkan) dan
deregulasi spasial (kelonggaran pembukaan cabang atau hambatan memasuki pasar).
Lebih lanjut dikatakan,
bahwa tinjauan deregulasi selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa
deregulasi telah sedikit banyak mengubah wajah sektor keuangan Indonesia. Tidak
berlebihan bila dikatakan, saat ini Indonesia telah keluar dari represi
finansial, setidaknya kadarnya telah jauh berkurang dibanding masa sebelumnya.
Deregulasi finansial
sebagai gantinya, mengakibatkan fenomena baru yang mengakibatkan iklim
persaingan semakin hangat. Termasuk di dalamnya adalah persaingan dalam
perbankan syari’ah di Indonesia. Diakui atau tidak, bahwa deregulasi finansial
di Indonesia telah memberikan iklim bagi tumbuh dan berkembangnya bank syari’ah
di Indonesia. Pada tahun 1991 telah berdiri dua bank syari’ah, yaitu : BPR
Syari’ah Dana Mardhotillah dan BPR Syari’ah Berkah Amal Sejahtera, keduanya
berada di Bandung.
Pada tahun 1992,
diundangkannya UU Perbankan Nomor 7 tahun 1992, yang isinya tentang bank bagi
hasil. Saat itu pula berdiri Bank Muamalat Indonesia. Kemudian diikuti oleh BPR
Syari’ah Bangun Drajad Warga dan BPR Syari’ah Marga Rizki Bahagia, keduanya berada
di Indonesia. Reaksi berikutnya juga muncul, untuk melakukan revisi UU No. 7
tahun 1992 menjadi UU No. 10 tahun 1998. Dengan demikian , diterbitkannya UU
No. 10 tahun 1998 memiliki kegiatan usaha perbankan berdasarkan pada prinsip
syari’ah. Setelah UU No. 10 tahun 1998 di Indonesia telah berdiri : satu Bank
Umum Syari’ah (Bank Muamalat Indonesia) ditambah dengan 80 BPR Syari’ah.
Kalau dilihat secara
makro ekonomi, pengembangan bank syari’ah di Indonesia memiliki peluang besar
karena peluang pasarnya yang luas sejurus dengan mayoritas penduduk Indonesia.
UU No. 10 tidak menutup kemungkinan bagi pemilik bank negara, swasta nasional
bahkan pihak pihak asing sekalipun untuk membuka cabang syari’ah di Indonesia.
Dengan terbukanya kesempatan ini jelas akan memperbesar peluang transaksi
keuangan di dunia perbankan kita, terutama bila terjalin hubungan kerjasama di
antara bank-bank syari’ah.
Hal ini guna menampung
aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat diberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip Bank
Syari’ah ini termasuk juga kesempatan konversi dari bank umum yang kegiatan
usahanya berdasarkan pada pola konvensional menjadi pola syari’ah.
Selain itu dibolehkan
pula bagi pengelola bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang atau
mengganti kantor cabang yang sudah ada menjadi kantor cabang khusus syari’ah
dengan persyaratan yang melarang percampuran modal dan akuntansinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
kita pelajari lebih mendalam dari pengertian, peranan dan perkembangan bank
syari’ah di Indonesia dapat disimpulkan bahwa masa depan perbankan syari’ah di
Indonesia sangat cerah. Hal ini terlihat dari semakin bertambahnya jumlah
(unit) perbankan syari’ah dari tahun ke tahun. Perbankan syari’ah dapat
dikembangkan sebagai salah salah satu sistem perbankan alternatif selain sistem
perbankan yang umum (konvensional).
Jika dibandingkan dengan
jumlah nasabah dan simpanan dari perbankan yang umum (konvensional) cenderung
tidak meningkat (stagnan), maka masih sangat terbuka kemungkinan perbankan
syari’ah untuk mendapatkan kenaikan jumlah nasabah maupun simpanan mereka.
Aturan yang berlaku dalam perbankan syari’ah adalah adanya sistem bagi hasil
yang tidak seberat jika kita mengikuti aturan dalam perbankan umum (konvensional)
yang sering memberatkan kalangan pengusaha. Perbankan syari’ah menawarkan
berbagai produk baik tabungan maupun yang lainnya. Sehingga harapan dari
kalangan usaha kecil dan menengah untuk memperoleh modal untuk memajukan usaha
mereka bisa terlaksana dengan baik. Perbankan syari’ah tidak memberikan pinjaman
untuk kegiatan haram dan spekulasi.
REFERENSI
Ali Mursid, 2004.
“Aplikasi Kontrak dan Produk Bank Syari’ah”, Kertas Kerja Shariate
Banking Workshop, pada
tanggal 11 April 2004.
Karnaen Perwataatmaja dan
M. Syafe’I Antonio, 1997, Apa dan Bagaimana Bank Islam,
Yogyakarta : PT Dana
Bakhti Wakaf.
Karnaen Perwataatmaja,
1997. “Istiqomah dalam menjalankan Operasional Bank
Syari’ah”, Kertas Kerja
Seminar Bank Syari’ah, pada tanggal 24 September
1997.
M. Syafe’I Antonio, 2000,
Bank Islam : Teori dan Praktek, Jakarta : Gema Insani Press.
Mudrajad Kuncoro dan
Suharjono, 2002, Manajemen Perbankan : Teori dan Aplikasi,
Edisi Pertama, Yogyakarta
: BPFE
Muhamad, 2000, Lembaga
Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta : UII Press.
Muhamad, 2000, Teknik
Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syari’ah, Yogyakarta : UII
Press.
Muhamad, 2002, Manajemen
Bank Syari’ah, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Muhamad, 2004. “Prinsip
Operasional Bank Syari’ah”, Kertas Kerja Shariate Banking
Workshop,
pada tanggal 11 April 2004.
0 komentar:
Posting Komentar